Aku ingin bercerita, tentang
sepenggal kisah perang dingin dengan saudara perempuan ku di tanah rantau.
Tidak penting memang. Tapi barangkali kamu bisa mengambil hikmah dari kisahku.
Semoga saja. Jadi begini.
*
Tempo hari, di hari itu (aku tak
perlu menyebutnya hari apa) aku hanya sedang bahagia dibalik duka. Di hari itu
juga sebenarnya aku menunggu mereka. Pernah ada yang menyampaikan padaku, bahwa
‘sebesar apapun materi yang akan diberikan, tak jauh diharapkan daripada
sekedar kehadiran pun kepedulian meski hanya dalam bentuk menyapa’. Menyapa
menandakan bahwa kamu tidak lupa. Menyapa menandakan bahwa kamu memang masih
ingin kita bertegur sapa. Tapi tidak hari itu. Lalu apa? Aku kecewa.
Aku menunggu mereka. Memang masih
dalam balutan rasa kecewa dibalik tawa yang diselimuti unsur pura-pura.
Menungguku tidak lama. Aku memberi batas waktu tunggu ku selama tujuh hari
kedepan. Kupersilakan diriku menunggu sampai batas waktu tertentu. Aku sempat
menghubungi mereka. Niat melebur rindu dan barangkali ia menyampaikan rasa
dukanya untuk ku pada beberapa hari yang lalu. Apa yang ku dapat? Hanya angin
lalu. Dan sampai batas waktu tunggu ku habis, mereka tak kunjung menyapa. Aku
ikut berlalu.
Waktu tunggu ku habis, aku berlalu
dan tengelam dalam rasa kecewa yang kucipta sendiri. Sampai beberapa waktu,
entah berapa lamanya. Meski bila benar-benar ku hitung hanya dalam hitungan
hari. Tapi perang dingin dengan saudara serasa sudah bertahun-tahun lamanya. Sebelum
waktu tunggu ku habis, aku ingat satu hal. Mereka juga kecewa atas sikap ku. Kebetulan
kami dalam satu tim panitia perencanaan program kewirausahaan. Kebetulan lagi
aku ada di bagian humas, yang seharusnya bisa mengkoordinir pencarian sponsor
dan melakukan koordinasi lebih banyak dengan tim yang lain. Sayangnya, karena
rasa kecewaku pada saudaraku, berimbas pada peran ku dalam kepanitiaan. Aku tak
menggubris sedikitpun tentang koordinasi proposal dengan pihak sponsor, usaha,
dll. Dan, mereka kecewa.
Rasa kecewa masih bersarang di hati
masing-masing kami. Diam-diam kami saling merindu. Diam-diam kami saling stalking
akun sosial media untuk sekedar mengetahui kabar yang ada pada masing-masing
kami. Aneh memang. Rasa gengsi masih menyelimuti diri untuk tidak saling
menyapa. Bahkan selalu menghindar untuk bertemu dalam forum yang harusnya kita
bisa bertemu.
Aku
ingat, bagaimana suasana dingin antara kami mulai melebur. Hal itu berawal saat
satu saudara rantau ku menghubungi ku untuk meminjam motor. Aku mempersilakan,
hanya saja aku tak berkesempatan menemuinya secara langsung, karena bertepatan
aku ada acara di kampus, jadi peminjaman motor itu lewat temanku. Kejadiannya masih
datar, kami tak banyak bertegur sapa dalam telvon, hanya sekedar berbincang
meminjam motor lalu berakhir.
Kali
kedua, aku yang memulai untuk menyapa. Setelah kemarin dua saudara ku yang
mulai menyapa saat meminjam motor. Kini aku mulai menepis ego ku untuk menyapa
lebih dulu. Basa-basi tanya kabar satu saudaraku yang memang lagi sakit. Dan percakapan
berlangsung sedikit lebih lama daripada sebelumnya. Suasana dingin sudah mulai
mencair.
Selanjutnya,
kami sudah mulai saling menghubungi dan
berkomunikasi sepanjang waktu. Mulai kembali menekuni rutinitas saling
bersilaturahmi ke rumah kost an dan jalan bareng kemana-mana. Semakin sering,
dan kurasa semua sudah kembali normal.
Sebenarnya
bukan hanya sekali itu kami perang dingin antar saudara. Kami sering berselisih
faham dan berujung diam. Tapi kurasa, kami lebih lama diam di fase ini.
*
Aku
tau, peleburan sikap dingin dan ego yang tinggi ini bukan hanya membuat diriku
sendiri senang, tapi mereka juga senang. Kami senang. Dari sini juga kami mulai
sadar lagi, bagaimana kita harus mengendalikan ego pribadi kita. Mengesampingkan
ego pribadi sangat diperlukan untuk dapat menemukan jalan keluar dari setiap
permasalahan. Selain itu, komunikasi juga sangat menyelamatkan kita dari
jeratan kasus perang dingin antar saudara.
Semuanya
sia-sia bila kita tak saling berkomunikasi dengan sesama. Semuanya sia-sia bila
kita menjalankan komunikasi namun dengan mengedepankan ego pribadi. Percuma saja,
orang tak akan perduli. Bila hanya mementingkan ego pribadi, tak kan kita
jumpai titik terang dari sebuah pertikaian dan perdebatan, apapun itu. Sekecil apapun
masalahnya, hanya dengan tingginya ego kita, ia akan membesar membakar
ketenangan kita. Tak semakin tenang, malah kita semakin tertekan dengan masalah
yang semakin besar. Kendalikan dirimu, kendalikan amarahmu. Mari saling
menasihati, bukan mencaci maki.
Sampaikan
padaku secara pribadi bila aku salah, aku akan berusaha ikhlas hati menerima
segala petuah.
Komentar
Posting Komentar