Tuhan, Ternyata Aku ABK



            Tuhan, ternyata aku ABK.
            Pernyataan ku itu kudapatkan setelah aku mulai memasuki dunia perkuliahan yang memang aku memilih jurusan di Pendidikan Luar Biasa.
Sebagian anak-anak tunarungu

            Di program magang dari jurusan, aku  memilih magang di sekolah tingkat SDLB. Disana aku ditempatkan di kelas anak tunarungu. Kala itu di beberapa hari pertama aku masih melihat guru kelas bernama Bu Umi saat proses belajar mengajar berlangsung. Beliau sudah lancar berbahasa isyarat dengan mereka anak anak tunarungu. Aku, hanya mampu memandangi beliau dan mencermati bagaimana beliau berkomunikasi dengan anak-anak. Bukan aku tidak bisa, hanya saja ilmu ku masih sedikit dan belum lancar menggunakan bahasa isyarat.
            Beberapa waktu setelahnya, aku justru diberi amanah untuk mengawasi PBM siswa sehari-hari. Jujur, aku merasa bingung. Bingung bagaimana aku harus berkomunikasi lancar dengan mereka. Aku hanya bisa beberapa kosakata dalam bahasa isyarat. Dan disini aku merasa mendapat tamparan atas waktu ku selama ini. Ku gunakan untuk apa saja waktu ku selama ini?  sampai-sampai untuk menjalankan amanah seperti itu saja aku masih merasa berat dan kebingungan.
            Dalam pelaksaan pembelajaran, aku memang menggunakan bahasa isyarat, tapi hanya untuk mengisyaratkan tugas dan beberapa kegiatan yang akan dilakukan mereka saat belajar. Selebihnya, untuk berkomunikasi lebih dekat dengan mereka, aku harus gigit jari karena aku bingung harus bagaimana berkomunikasi. Aku ingin memainkan isyarat dari tanganku, tapi apa dayaku, terkadang mereka pun tak mengerti.
Karena kita hidup dengan banyak bahasa. Sekalipun ada bahasa yang resmi, tetap saja ada bahasa Ibu yang sudah menyertai kita sejak lahir. Ada pula bahasa lingkungan yang kiranya hanya orang sekitar lingkungan itu saja yang banyak faham dengan bahasa itu. Seperti itulah jika aku berada di lingkungan kelas tempat ku magang. Mereka anak-anak tunarungu dengan lihai nya memainkan tangannya berkomunikasi dengan teman-teman sejawatnya. Sedangkan aku, hanya bisa melongo dan miris melihat diriku sendiri.
Aneh memang. Orang bilang aku normal. Mata ku masih jelas untuk memandang. Telingaku juga masih berfungsi untuk mendengar suara. Bibir ku juga masih sanggup untuk mengucap suara. Tangan dan kaki ku pun begitu, masih sanggup untuk ku gerakkan.
Tapi sebenarnya mereka salah menilai bahwa aku normal. Sebenarnya aku ini ABK. ABK yang normal. Aku seperti orang normal jika aku nerada disekitar orang-orang yang tidak menyandang difabel. Berbeda ketika aku di tempatkan dalam lingkungan anak difabel. Seperti di kelas tunarungu, disana aku merasa diriku adalah ABK. Disaat semua bisa berbahasa isyarat dengan lancar, aku justru bengong dan menyimak percakapan mereka yang pastinya tak begitu ku tau apa maksudnya.
Tuhan, ternyata aku ABK. Jika dengan kemampuan ku dalam melihat dan aku di tempatkan di sekitar anak yang mengalami hambatan penglihatan. Aku akan terlihat ABK. Mereka menguasai huruf braille, sedangkan aku? Hanya tau sandi morse dari pramuka yang itu pun tak muncul timbul-timbul di kertas untuk membedakan titik dan setrip dari tiap sandinya.
Tuhan, aku cemburu pada mereka. Aku juga ingin berkomunikasi lancar dengan mereka. Aku juga ingin mereka bisa memahami apa yang ku bicarakan, pun juga sebaliknya. Aku ingin lebih lancar lagi menggunakan isyarat untuk bisa ikut beromunikasi dengan mereka. Aku ingin mengerti apa yang mereka pelajari. Aku ingin mengerti dan mahir dalam menulis menggunakan huruf braille. Aku ingin mereka tau, bahwa aku pun juga ingin bisa membaca dan menulis braille seperti mereka. Agar kelak aku bisa membacakan cerita yang ditulis melalui braille. Agar kelak aku bisa membuatkan buku dengan cetakan huruf braille.
Tuhan, ternyata aku tau, bahwa semua umat-Mu akan mengalami hambatan yang menjadikannya seorang berkebutuhan khusus pada masanya. Hanya saja, tak semua orang menyadari bahwa dirinya ABK. Mereka hanya menilai bahwa orang ABK adalah orang yang itu-itu saja, yang di nilai tidak waras, agak gila, dan berbagai anggapan lain. Justru menurutku, orang yang menilai demikian adalah ABK. Mereka tidak tau bagaimana ABK hidup dengan berbagai cacian dan perjuangan untuk mendapatkan hak hidup yang layak. Mereka tidak tau, bagaimana menjalani proses menepikan rasa trauma atas setiap cacian yang telah dilontarkan pada mereka.
Jangan hanya menghina mereka tidak waras, gila, dll. Mari berkaca, sebenarnya yang tidak waras itu kita, atau mereka?
 ~diayu
Usai olahraga bersama anak tunarungu

Komentar

  1. Main ke SMKku, SMK 2, Mi. Di sana ada kelas inklusi Jadi pagi, anak-anak itu ikut kelas inklusi, siangnya ikut kelas reguler. Dapat kesempatan PSG juga loh mereka...

    BalasHapus
  2. kasihan ya kalo melihat mereka kayak gitu. tapi berkatmu aku ada ide buat nulis iki mi. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yippii.. ndang nulis qin, tak tunggu tulisan e.

      Hapus

Posting Komentar