Lantunan adzan subuh terdengar dari telepon genggam Ghani. Ia mulai sadar, tapi matanya masih terpejam. Ia kucek dua bola mata yang masih berat. Ia menghitung pelan dalam hati, satu, dua, tiga, empat,..., dan sepuluh. Ghani mulai bangun dari tempat tidurnya, bersih diri dan menunaikan shalat Subuh. Selepas itu, ia melanjutkan aktifitasnya, menyiapkan sarapan dan perlengkapan yang akan dibawa pergi bekerja.
Ghani menyadari bahwa akhir-akhir
ini sedang jarang berkomunikasi dengan Hilman kekasih hatinya. Hilman yang membalas
pesan sesempatnya, sedang Ghina juga disibukkan dengan proyek dari kantornya. Diambilnya
telepon genggam di atas nakas sambil berlalu menutup pintu. Seperti sudah hafal
dengan tampilan dan tata letak ponselnya, tak lama ia sudah menghubungi
seseorang di seberang sana sambil naik ke mobil yang sudah dipesan secara online.
Tertera nama ‘Mas Hilman Anugrah’ di layar ponselnya. Ya, Ghani menghubungi
Hilman kekasihnya. Sekadar ingin menyapa dan bertukar kabar. Sore ini bila
jadwal cocok, hendak ingin berjumpa sepulang kerja.
“Assalamu’alaykum, Halo Ghani”,
ucap Hilman
“Wa’alaykumsalam, Pagi Mas Hilman
sayangku”, balas Ghani sumringah.
“Ghani, tadi aku juga mau nelpon
kamu lho. Tapi udah keduluan aja”
“Waaaah, intuisi kita kuat banget.
Jodoh kita Mas”
“Hmm, maaf ya”, ucapan Hilman
terputus, nadanya berat.
“Loh Mas, kenapa minta maaf? Kamu
ada masalah?”, Ghani terkejut dengan perkataan Hilman
“Ghania Aisyah, maaf. Sekali lagi
aku minta maaf. Aku mau pamit, hari ini aku lamaran”, dan lagi, suara Hilman
masih menggantung.
“Hah, Mas? Maksud kamu apa?”,
nada Ghani meninggi.
“Iya Ghani, hari ini aku mau
lamaran. Ibu ngenalin aku sama anak temennya.”
Percapakan mengejutkan itu
membuat mereka hening sejenak. Berulang kali Ghani menghela nafas panjang. Hatinya
bergemuruh. Pikirannya tidak bisa mencerna apa yang ia dengar beberapa detik
lalu.
“Sejak kapan?”, tanya Ghani
singkat.
“Sekitar dua minggu lalu. Setelah
aku menawarkan pernikahan padamu, dan kamu belum bisa memberi kepastian. Sedangkan
Ibuku meminta aku untuk segera ke pernikahan. Ibu sudah memberiku batas, dan aku
tidak lagi bisa mempertahankanmu di depan Ibuku, Ghani. Maaf.”, lagi-lagi
Hilman meminta maaf pada Ghani
“Waw. Keren sekali”, Ghani
menjawab dengan suara kecut.
“Ghania Aisyah, aku menyayangimu.
Tapi a...”
“Stop. Kamu ga perlu bilang
sayang lagi Mas Hilman, ga usah minta maaf juga. Bukan salahmu. Aku yang minta
maaf, juga terima kasih.”
“Gha”
‘Tut’, suara panggilan itu
diakhiri sepihak oleh Ghani. Dihapusnya kontak dengan nama ‘Mas Hilman Anugrah’,
tak lupa ia masukkan ke dalam daftar nomor diblokir. ‘Arrrgh, masa bodoh sama
orang yang mau lamaran’, ia sandarkan tubuhnya keras ke arah kursi mobil.
Matanya memejam, air matanya membasahi pipi. Hati dan pikirannya masih berkecamuk,
tidak menduga kejutan seperti ini harus didapatkan dalam perjalanan ke kantor,
saat pekerjaan sedang banyak-banyaknya. Ternyata dari prinsip-prinsip tak
sejalan yang sedikit ia paksakan, tentang setiap keraguan hatinya pada sosok
Hilman yang selama ini menjadi alasan ketidakpastiannya, justru mengantarkannya
pada sebuah kepastian.
#5CC #5CCDay6 #dioramacareerclass
#bentangpustaka
Tag @bentangpustaka
@langitlangit.yk @careerclass_id
Komentar
Posting Komentar