Seorang remaja laki-laki menatap nanar gundukan tanah basah di depannya. Gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga segar, harum dan wangi. Langkah kaki warga mulai terlihat menjauh meninggalkan area pemakaman. Tinggal lelaki itu sendiri yang masih berlutut disebelah makam. Ia usap perlahan batu nisan di depannya. Tangannya perlahan memeluk makam yang masih baru itu sambil menahan sesak yang memburu dalam dada. Ia tak ingin menangis di atas makam Nenek tercintanya.
“Uti, kenapa buru-buru? Tidak bisakah menunggu sebentar lagi? Tinggal menghitung jam aku udah wisuda Ti. Kenapa pergi dulu?”, lelaki itu menggumam, masih dengan menunduk lesu. Berulangkali ia menghela nafas panjang hanya untuk menahan tangisnya.
Lelaki itu Khoirul namanya. Orang biasa memanggilnya Irul, salah satu cucu kesayangan yang sering sekali menemani malam-malam Neneknya. Irul biasa menyebutnya Uti. Hal itu sudah menjadi rutinitas sejak ia masih di bangku Sekolah Dasar sampai masa dia kuliah dan merantau. Meski merantau, saat pulang ke kampung halaman, ruang tamu rumah Uti selalu menjadi tempat tidur yang nyaman bagi Irul.
Sekitar tiga bulan lalu, kondisi kesehatan Uti memang sudah mulai menurun. Di lain sisi, Irul sedang sibuk menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Momen ini membuat Irul harus mengurangi intensitasnya untuk pulang.
---
“Rul, cucu sholeh Uti, bangun subuh dulu. Uti masakin mie buat Irul”, ucap Uti setiap membangunkan Irul.
Diusia tua ini, Nenek Irul memang sudah tidak pernah masak sendiri. Jatah makan kesehariannya dikirim oleh anak yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Sesekali beliau hanya masak air untuk kebutuhan membuat minuman hangat dan menghangatkan makanan saja. Momen Irul pulang kampung dan menemaninya tidur akan menjadi momen bagi Uti untuk masak mie. Itu adalah ekspresi sayangnya pada cucu kesayangannya, Irul. Raga yang semakin renta termakan usia, tak memudarkan sayangnya untuk cucunya. Bahkan saat momen terbaring sakit pun beliau masih mencari cucu kesayangannya itu.
Perkuliahan Irul mulai memasuki momen sibuk. Ia harus sering bolak-balik ke tempat penelitian, harus berkejaran dengan Dosen Pembimbing untuk menuntaskan penelitian skripsinya. Aktivitas itu mengurangi momen Irul pulang dan mengunjungi Neneknya. Meski begitu, beberapa kali ia masih bertukar kabar dengan kerabat dan menginfokan kabar Neneknya.
Sejak kesehatan Uti mulai menurun di beberapa bulan terakhir, beberapa Anak Cucunya mulai bergantian menemani Uti di rumahnya. Jauh sebelum Irul mendewasa, Uti memang sudah menolak untuk tinggal di rumah anak-anaknya. Beliau mau menua di rumahnya sendiri. Beruntungnya beberapa rumah anak dan cucunya terjangkau dari rumah.
Beberapa bulan berlalu, drama skripsi Irul sudah selesai. Momen sidang, proses penjajakan dan yudisium sudah terlewati dengan penuh liku. Tinggal menunggu jadwal pelaksanan wisuda. Sebentar lagi ia akan wisuda dan resmi menjadi sarjana muda. Di masa tunggu ini ia lewati dengan melanjutkan bekerja freelance. Sesekali ia mengisi kelas ekstrakurikuler musik di Kota. Sesekali manggung di beberapa kafe bersama teman-temannya. Tentu saja tidak lupa untuk menemani Utinya.
Ting... Suara notifikasi ponsel berbunyi. Masuklah info pelaksanaan serangkaian wisuda yang dikirim dari sebrang sana. Jadwal wisuda akan dilakukan satu bulan lagi. Irul senang. Ia laporkan itu pada keluarganya, tak terkecuali Uti. Segala persiapan mulai dirinci, termasuk untuk teknis perjalanan keluarga yang akan menemaninya wisuda kelak.
Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa menghitung hari sudah tiba waktunya Irul untuk wisuda. Dua hari menjelang pelaksanaan wisuda, Irul pergi ke kampus untuk mengambil gordon dan toga sebagai kelengkapan wisuda. Dibawanya pulang dengan hati yang penuh. Ia langsung menuju rumah Uti.
“Uti, bentar lagi aku wisuda Ti”, ucap Irul sambil cengar cengir di sebelah Utinya.
“Alhamdulillah, Rul. Semoga lancar, dapat berkah. Uti cuma bisa doain kamu”, balas Uti.
“Ayo foto Uti. Aku pake toga ini”, sambung Irul yang diikuti aksinya memakai toga dan menyiapkan kamera.
Irul memang sengaja mengambil beberapa foto dengan Uti di rumah sebelum momen wisudanya untuk dijadikan kenangan. Sebab ia tau, Uti tidak mungkin ikut ke acara di kampus. Mengingat tubuhnya yang renta dan kesehatan yang akhir-akhir ini menurun, tidak mungkin harus memaksa Uti ikut berkerumun di rombongan pengantar wisuda.
Hari itu niat hati mengabadikan momen pakai toga bersama Uti, sebab tak mungkin Uti menemani cucu kesayangannya wisuda di kampus. Namun takdir Tuhan berkehendak lain. Belum lewat momen wisuda, Uti sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Foto bersama antara Uti dan Irul menggunakan toga menjadi kenangan terakhir.
Bila hadiah wisuda kerap kali membahagiakan, lain dengan momen Irul. Hadiah wisudanya ialah kepergian Utinya. Ia harus melepas dan mengikhlaskan kepergian orang yang disayang menjelang momen wisuda. Seperti sebuah hadiah istimewa. Antara sesak mengikhlaskan kepergiannya, atau mensyukuri bahwa beliau kini sudah tenang di alam yang berbeda.
---
“Uti, aku memang sudah menyiapkan diri untuk kehilanganmu. Tapi ternyata aku tetap saja jatuh. Meski sudah bersiap, ternyata aku tak benar-benar siap. Aku berusaha ikhlas Ti. Terimakasih sudah menyayangiku selama ini. Semoga doaku bisa menjadi penerang bagi Uti di sana”.
-Manusia Kaktus-
Gresik, 19 Januari 2023
#5CC #5CCDay5
Komentar
Posting Komentar