Jutaan
detik berlalu dalam temu namun tak jua sempat terucap kata walau hanya sekedar
sapaan ‘Hai’ yang dengannya bisa memecah keheningan perjumpaan. Yang ada hanya
tatapan (atau bahkan tak memandang sama sekali) tajam, dingin dan semakin
membekukan suasana. Begitulah selalu keadaan yang terjadi di sekilas waktu itu.
Entah pertengkaran apa yang tengah terjadi hingga masing – masing kita saling
diam saat jumpa (bahkan bersama) lalu memalingkan muka dan beranjak pergi.
Mungkin luka yang terasa menjalani kisah demikian. Namun apa yang bisa
diperbuat? Sedangkan masing masing kita pun saling memenangkan egonya tanpa
berfikir untuk menyelamatkan status (sebatas status pertemanan, atau mungkin
mau disebut sahabat? Terserah). Sebenarnya aku bosan diam, bersikap seolah tak
acuh, ah entahlah. Apa cuma aku yang merasa bosan dengan perang dingin ini?
*
Kala
itu kau duduk di atas motor kesayangan mu di sudut persimpangan jalan parkiran
tempat parkir langganan mu, sendirian. Seperti biasa pula aku jalan dengan
tergopoh – gopoh (padahal tak ada jadwal piket atau hal yang mendesak lainnya)
dan langkahku tiba di perlintasan jalan yang harus melalui mu. Aku sudah
menatap sinis dari kejauhan namun aku berjalan menundukkan kepala ku pertanda
aku mengabaikan keberadaan mu di sana.
“Mi”
suara
itu membuahkan getaran bunyi hingga terdengar oleh telingaku, dendrit dalam
neuron bekerja cepat merangsang respon pendengaran ku, sapaan itu yang kemudian
memaksaku berhenti dan meski tak sampai ku memutar badan ku berbalik arah untuk
dapat memandang mu, namun wajah ku sempat menengok ke arah mu hingga lirikan
mata ku jatuh pada raut muka mu yang samar – samar ku memandang , terlihat ada sebuah senyum khusus (anggap
saja begitu) untuk ku yang mungkin tertunda sejak beberapa waktu lalu.
Sayangnya, aku masih saja melirik dengan tatapan dan sedikit senyuman sinis
(atau lebih tepatnya senyum ikhlas ku bersembunyi di balik semua itu). Aku ingin membalas sapaan itu dengan senyuman
tulus, ingin kembali menegur sapa mu dan sedikit bercengkrama disana.
Keinginan
tak selalu menjadi realita. Aku berpaling, hendak beranjak pergi meninggalkan
dia. Namun lagi – lagi langkahku harus terhenti oleh ucap mu,
“sampai
kapan tidak bertegur sapa dengan ku?”
Kali
ini aku berbalik dan betul – betul memandang ke arah mu, menatap kedua bola
mata mu dan kudapati sorot mata itu seolah menyimpan kerinduan. Untuk siapa
rindu itu tertuju sebenarnya?. Akankah untuk ku? Atau dia? Atau mereka?
Terserah. Barangkali aku ingin menjawab ‘sebenarnya
aku sudah lelah tak bertegur sapa dengan mu. Kau tau, akhir – akhir hari ku ini
aku selalu merindukan bagaimana ketika aku menyisihkan sedikit waktu untuk
bersama mu. Entah itu untuk sekedar makan, jalan, atau sekedar ngobrol di teras
ruang kelas.’
“Bukankah
kamu yang lebih dulu diam terhadap ku?”
Ah,
piciknya aku. Hanya kalimat itu saja yang akhirnya terlontar dari mulut ku.
Lantas aku pergi tanpa menoleh ke arah mu, tak sekalipun itu. Mungkin kau tau
aku tak ingin lebih lama lagi berdiri disana. Jadi kau biarkan saja aku berlalu
meninggalkan jejak dan pertanyaan itu untukmu. Ku biarkan kau bingung dan
merenung. Barangkali juga aku ikut merenung, mungkin. Dan aku, kembali melanjutkan langkahku yang kini terasa berat saat harus meninggalkanmu sendiri, disana.
~Diayu
Kisah nyata nggak yah? 😛
BalasHapuskisah nyata yang hanya ada dalam imaji. wkwkwk
Hapus