Sebagai makhluk hidup, tak awam lagi
kita dengan kebiasaan tolong menolong di masyarakat pada umumnya. Terkadang ada
orang yang tak pandang bulu untuk menolong sesama. Ada yang menolong karena
melihat rupa dan tahta. Ada yang menolong karna memang sudah kenal. Ada yang
menolong karena iba. Dan banyak lagi alasan manusia saling tolong menolong di
kehidupan ini.
"Menolong itu perbuatan baik. Benarkah?"
Belum tentu, tergantung pada apa yang
akan kita tolong. Pertolongan apa yang kita berikan? Sudah benar dan sesuaikah
dengan kaidah agama? Melanggar syariat ataukah tidak? Baik atau buruk kah yang
akan kita lakukan? Semua perlu dipertimbangkan. Waspada
dalam menolong juga perlu. Sebenarnya bukan hanya dalam menolong, tapi dalam
segala hal harus waspada dan tetap berfikir positif atas apa yang kita lakukan.
Sembari menata niat hanya untuk mengharap ridho dan rahmat-Nya ketika hendak
menolong siapapun dan apapun.
Sempat temanku bertanya, “Salahkah
bila aku terlalu baik? Melihat respon orang-orang sekitarku malah seperti itu. Aku
harus bagaimana?”. Aku tau, maksud baik pada orang yang dipertanyakan oleh
temanku yakni dia sering berbaik hati menolong teman-temannya yang membutuhkan
bantuan, tetapi dipandang sebelah mata oleh orang-orang lain.
Kalau menurutku perilaku baik
seseorang tidak bisa disalahkan. Selagi perilaku baiknya memang baik dan benar.
Yang perlu dipertanyakan itu pandangan mereka. Mengapa mudah sekali memandang
orang lain sedemikian rupa. Tidakkah ingin berkaca? Kita bukan manusia
sempurna, kita masih berlumur dosa yang sampai saat ini nodanya tak nampak di
diri kita.
Salah seorang temanku yang lain
bercerita, ia mendapat teguran dari salah seorang temannya, “Kamu jangan terlalu
baik, main percaya sama orang kasih pinjam ini itu. Nolong orang sih ya nolong
mba, tapi coba lihat, bagaimana respon orang itu saat kamu butuh dia? Teliti
lagi, dia bisa dipercaya atau tidak?”.
Wuuh, seperti pedang yang membelah
laju pemikiranku. Semula kepercayaan yang penuh ku berikan pada semua orang,
terpecah dan berantakan. Aku mulai melihat rekam jejak orang-orang yang sudah
kupercayai. Aku jadi punya pertanyaan, “Siapa yang salah? Kita yang terlalu
baik atau mereka yang tidak mengerti?”.
Mengapa aku bertanya demikian,
karena aku melihat dari kisah pribadi dan beberapa teman, seringkali kita
merasa sering menolong orang. Seperti kita mengusahakan untuk selalu bisa ada
disetiap mereka membutuhkan bantuan. Tetapi semua tidak berbalik pada saat kita
yang membutuhkan mereka. Semua hilang.
Oh, tunggu. Semua
hilang atau sebenarnya kita yang hilang karena masalah kita sendiri? ingin
dimengerti tapi selalu menyendiri dan menepi dari semua, sehingga sulit
dijangkau oleh mereka yang sebenarnya ingin membantu kita? Ah entahlah.
‘Ikhlas
menolong, tanpa pamrih’
Aku jadi ingat bahwa aku spernah dan
mungkin juga sering mendengar kalimat di atas. Memang benar, ketika kita
menolong harus ikhlas tanpa pamrih, tanpa mengharapkan ada imbalan. Tapi
sebenarnya tidak semata-mata seperti itu. Mari menjelajah hati, jauh ke
dasarnya, mari kita lihat, disana ada secuil pengharapan ‘Semoga kelak bisa
dibantu ketika aku juga mengalami musibah, kesusahan, atau kesulitan’. Dan dari
pengharapan itu, terkadang menuai kekecewaan dan sakit hati ketika tidak
dijumpai satupun mereka yang menguatkan saat tertimpa musibah atau masalah
lain. Entah sebenarnya mereka kemana. Entah sebenarnya mereka mengerti lalu
pura-pura buta dan tuli atau bagaimana. Entah.
“Sebenarnya disini, siapa yang
salah?”
“Tidakkah kamu
berkaca mbak?”, bisik hati kecilku. “Yang salah adalah dirimu dan segala
pengharapanmu. Niatmu kurang mantap, jadi hatimu belum ikhlas”, lanjutnya.
Ah.. Hidup jadi serba salah
mempermasalahkan siapa yang bersalah.
Komentar
Posting Komentar