Empat
tahun silam, aku (Ima) berteman dengan sesosok pria – anggap saja – tampan
bernama Aji. Ia pria keturunan Jawa –sama denganku – , hanya saja ia sedang
merantau ke pulau Sumatera, satu tahun sebelum aku sempat berteman dengannya.
Aku berteman lewat akun media sosial –sebut saja Facebook– berkat teman ku yang
mengenalkan ku padanya. Lebih tepatnya ia mengenalkan Aji padaku atas dalih
bahwa Aji adalah kekasihnya, yang setahun silam ia merantau ke Sumatera
mengikuti Orangtua dan saudara-saudaranya.
*
Tempo
hari. Aku mendapati pesan masuk di akun Facebook ku dari akun yang tak begitu
asing bagiku. Ya, itu akun milik –sebut saja pacar– dari teman baru di sekolah
baru ku, yang beberapa waktu lalu ku tambahkan ia menjadi daftar teman di akun Facebook
ku.
‘boleh
minta nomer keberuntungan kamu?’
Spontan
aku shock, tak pernah berfikir bila kamu akan mengajak ku mengobrol meski lewat
pesan. Meski sebelumnya pun tak pernah terfikir oleh ku akan berkomunikasi
dengan kamu. Aku hanya sekedar iseng menambah akun mu dalam status pertemanan
di akun Facebook ku. Aku pun membalas dengan rasa penasaran dan bingung
‘nomer
keberuntungan? Apa maksudnya?’
‘ya
nomer keberuntunganmu, terserah’
‘ah,
apa coba maksudnya bang? Aku ga ngerti.’
‘duh,
lupakan saja sih. Oh iya, kamu kenal
aku? Kok panggil bang? Kamu anak jawa kan?’
‘hmm,
sebatas kenal kamu dari temanku, si Tina. Aku teman sekolahnya.’
...............
dan
bla bla bla bla.
Sekilas
dalam ingatan ku, begitulah awal percakapan kita, sampai berujung kau meminta
nomer ponsel ku. Aku mengiyakan dan memberikan nomer ponsel ku padamu. Terlihat
bodoh memang. Seorang gadis memberikan nomor ponselnya pada pria yang
jelas-jelas belum ia kenal. Entahlahh, apa yang sempat terfikir oleh seorang
Ima saat itu. Mungkin aku hanya ingin berteman dengan mu, dengan dalih kamu
adalah teman – sebut saja pacar – dari temanku, Tina -meski akhirnya aku
mengerti bahwa kamu, tak pernah berpacara dengan Tina-.
‘Jangankan
pacaran, aku nembak dia aja ga pernah kok.’, begitulah tutur kata mu
menjelaskan.
Beberapa
waktu berlalu, kita menikmati pergantian waktu dengan bercengkrama lewat sosial
media. Entah itu sms, inbox fb, televon, bahkan saling membalas pesan atau
sebut saja isi hati yang kita curahkan lewat status facebook. Sering, semakin
sering dan semakin sering interaksi antara kita. Aneh memang. Bertatap muka
denganmu saja aku tak pernah, tapi beberapa waktu setelah kita sering
berkomunikasi kita sudah berani saling menyimpan rasa.
Begitu
pandai iblis menjelma menjadi rasa dan merasuki ruang hati kita yang sama-sama masih
kosong. Terlena. Aku terlena kedekatan ku denganmu. Seperti baru kali ini
merasa nyaman berteman dengan seorang pria. Ya, pria sepertimu, Aji.
Percakapan
yang tak pernah berujung, seolah membuat kita meyakini bagaimana masa depan
akan semakin indah jika kita lalui bersama. Ah, terlalu naif jika kita
membicarakan masa depan tanpa pertemuan. Tapi faktanya begitu. Waktu semakin
berlalu dan menenggelamkanku dalam lautan keteduhan tutur kata dan perhatianmu.
Intensitas pertemuan kita dalam segala sosial media semakin bertambah. Aku
semakin menggilai mu. Dan waktu seolah berjalan lambat saat aku menunggu hadir
dan sapa mu lewat media. Tak hanya itu. Aku pun menunggu hadir mu dalam
pandangan mata ku secara nyata. Nyata bahwa aku benar melihatmu hidup, bukan hanya
ilusi atau khayal ku semata.
Kau
menjanjikan kepulanganmu, untukku.
‘Suatu
hari nanti’, katamu.
*
Sudah
berapa waktu yang ku habiskan denganmu? Sudah berapa inchi rasa yang tumbuh
memenuhi ruang hatiku? Entah.
Kini.
Muncul
rasa takut, bilasaja yang ku yakini tentang mu itu hanyalah semu. Aku takut,
bilasaja kau tak benar benar nyata ada di dunia. Karena kita tak pernah
bertemu. Kau hanya menjanjikan waktu untuk bertemu, ‘suatu hari nanti’.
Hari
apa yang kau maksud kan untuk sebuah pertemuan tanpa kepastian?
Kapan?
Kapan? Kapan?
Kapan
sebenarnya kau akan pulang, Aji?
Aku
seperti orang bodoh sedang menunggu pangeran dalam dunia khayalan.
*
Tentang
sebuah perkenalan, bukan hanya saat awal bertemu, awal bertegur sapa, awal
percakapan, awal chattingan, dan segala sesuatu yang kita sebut awal.
Perkenalan itu terjadi setiap waktu, bahkan meski sudah bertahun-tahun kita
bersama, pasti ada saja hal-hal kecil atau apa yang baru kita ketahui dari mereka.
Ya, hidup memang tak bisa lepas dari suatu sistem perkenalan. Tanpa mengenal
kita tak tau apa-apa. Tanpa mengenal, kita ini bodoh. Tanpa mengenal, kita pun
bukan siapa-siapa.
Mengenal?
Masih
bisakah kisah ini kusebut dengan istilah mengenal, Aji? Sedangkan sejak empat
tahun sampai saat ini, bukan waktu yang bisa dibilang singkat. Aku belum pernah
bertemu dengan wujudmu apalagi untuk mengerti wajah asli sosok Aji yang empat
tahun ini tak pernah lepas dari angan seorang Ima. Aku sebatas mengerti
bagaimana rupa paras mu yang menawan dalam potret yang terpajang di akun
Facebookmu.
Kusebut
kisah ini sebuah kisah imaji. Angap saja
karena aku adalah Ima dan kau adalah Aji. Ima - Aji. Kita teman ber-ImAji-nasi
bersama saat ragu belum menyapa dan ketakutan belum menghantui ku. Atau, memang
ini benar hanya sebuah imaji karena kau tak pernah nyata dalam kehidupan. Kau
hanya khayalan gadis remaja yang sedang puber dan merasa jatuh cinta. Kau,
sampai saat ini hanyalah ImAji.
*
Aku
menatap semu bayangmu dalam fikirku. Ada bisikan yang tiba-tiba menenggelamkanku
dalam renungan panjang. Seolah ada yang berusaha menyadarkanku. Mungkin itu bisikan
hatiku sendiri. Ya, bisikan dari lubuk hati terdalam. Sebenarnya aku tak begitu
yakin, itu bisikan hati atau sebuah efek rasa ketakutan. Aku semakin tak tau
bagaimana menafsirkan rasaku. Aku meragu.
Aku
takut. Bilasaja kau tak benar-benar nyata di dunia. Aku takut. Bilasaja kau tak
benar-benar menyayangiku seperti apa yang terjadi di sosial media. Aku takut.
Perkenalan ini selamanya rumpang tanpa pertemuan.
Aku mulai
membatasi interaksi ku dengan mu. Melawan candu yang sudah membabi buta
mengendalikan segala fikir dan ambisi ku untuk selalu bersamamu. Sakit. Teramat
sakit mengikis candu yang sudah lama kucipta sendiri, padamu. Tak ada yang
lebih sakit dari peristiwa menjauhi sosok orang yang di damba dan di cinta
sepertimu. Kali ini aku tak membiarkan rasa ku menang. Aku terus melawan.
Melawan. Dan terus melawan.
Hingga
akhirnya aku menghilang.
Tanpa
pamit.
*
Adakah
luka dari setiap perpisahan? Tentu ada.
Aku
menghadapi luka itu sendiri. Kini penghujung Desember 2014, aku mendapati diriku
kembali pada sosok Aji dalam khayalan yang selama ini selalu ku hindari. Kita
kembali bercengkrama melalui pesan singkat. Aku sempat bahagia. Kala itu aku
sedang menikmati perjalanan liburan di Bali, dan hadir mu menambah nuansa
bahagia serta keceriaan liburanku.
Bukankah
seseorang pernah berkata bahwa ‘kebahagiaan selalu datang satu paket dengan
kesedihan’. Kali ini aku membenarkan perkataan itu. Miris. Bahagia ku tak
bertahan lama. Ku dapati pesan di ponselku dari mu dengan nada dan kalimat yang
berbeda dari topik sebelumnya.
Salah
kirim.
Ya,
kamu salah kirim. Pesan itu tertuju untuk seseorang yang sedang menjalin cinta
dengan mu, tapi bukan aku.
Hancur.
Kali
ini aku benar-benar hancur. Tak ada sosok wanita atau pria yang benar-benar rela
mendapati sosok yang dicinta sedang bercinta dengan yang lain. Luka. Lara. Kini,
tinggal sesal semata.
Kacau. Aku meracau.
Aku butuh obat penenang.
Aku pergi,
tanpa pamit (lagi).
Semoga bersambung...
~diayu
Komentar
Posting Komentar